Terdengar
obrolan hangat di warung kopi. Ada yang dengan sinis menyamakan polisi India
dengan polisi Indonesia sebagaimana yang ditonton di layar putih atau layar
kaca. Setiap kali ada keributan, tawuran, perkelahian massal atau kerusuhan,
dan bentrokan berdarah, selalu polisi lambat tiba tepat waktu di tempat
kejadian untuk meredam keributan.
Pandangan
demikian biasa ditonton dalam film-film India (Bollywood)). Namun, ada bedanya.
Tak ada beban penonton jika menonton film India. Sang hero atau tokoh
protagonis selalu menang di akhir kisah meski babak belur dan nyaris tewas pada
awal atau pertengahan cerita. Rupanya, ada semacam moral budaya India (Hindu)
yang mengharamkan kejahatan menang atas kebaikan.
Berbagai
peristiwa kerusuhan di tanah air tak jarang lambat diredam atau dihentikan.
Intel kepolisian mungkin tak memiliki jaringan mata dan telinga yang secara
dini dapat mendeteksi dan menangkap adanya tanda-tanda awal kerusuhan atau
adanya potensi signal kerusuhan sehingga sedapat mungkin dicegah.
Harapan
bahwa warga masyarakat dengan jujur, ikhlas, dan berani menjadi perpanjangan
mata dan telinga polisi sulit terpenuhi. Selain rasa takut karena bisa turut
dilibatkan sebagai saksi, juga tak mau ambil pusing karena sudah kepusingan
tujuh keliling karena masalah rutin yang dihadapi sehari-hari.
Anjuran
pemerintah agar antara sesama warga dan kelompok harus saling melindungi serta
bukan baku hantam atau saling menganiaya dan bahkan saling melikuidasi.
Sesungguhnya, negara yang direpresentasikan oleh pemerintah harus melindungi warganya
di dalam seluruh jenis kegiatan yang bertujuan mengembangkan dan menyempurnakan
hidupnya.
Namun,
terkesan kuat seakan-akan negara (pemerintah) tidak melindungi warganya,
melainkan bersikap membiarkan terjadinya saling hantam antara sesama warga, terutama
dalam kasus yang bermuatan SARA.
Sebagai
contoh, peristiwa pengrusakan rumah, tempat hunian, dan tempat ibadah serta
penganiayaan umat Ahmadiyah yang berulangkali terjadi adalah bukti paling nyata
tentang gagalnya pemerintah melindungi rakyatnya.
Demikian
pula peritiwa main hakim sendiri, baik oleh alat penegak hukum dan ketertiban,
maupun oleh sesama warga dan kelompok di antara sesamanya karena ingin membela
kepentingan masing-masing atau ingin menang sendiri tanpa mempertimbangkan rasa
adil dan keadilan yang harus dijunjung tinggi.
Ungkapan
bahwa setiap manusia sama di depan hukum, yang semakin kehilangan maknanya,
harus diwujudkan oleh pemerintah sebagai pelindung sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar