Selasa, 25 Desember 2012

masalah pemuda dan sosialisasi


Pemuda identik dengan dengan sosok individu yang berjiwa produktif, memiliki semangat juang yang tinggi, tidak mudah putus asa dan mempunyai karakter khas yang spesifik yaitu revolusioner, optimis, dan berpikiran maju.  Jiwa muda cenderung memiliki ketidakstabilan emosional. Sehingga jiwa muda sering mudah marah, mudah tersinggung, mudah digoyahkan, mudah dipengaruhi, dan lain sebagainya. Pemuda lebih mudah untuk bersosialisasi, beradaptasi, dan cenderung lebih mudah menerima perubahan, baik berupa perubahan sosial maupun kultural dengan menjadi pelopor perubahan itu sendiri. Pemikiran kaum pemuda pada umumnya lebih kreatifitas, inovatif, dinamis, berwawasan luas, mudah bersatu, dan konsisten pada perkataannya. Sehingga tidak heran apabila akhir-akhir ini banyak pemimipin yang berusia muda.
Peran penting dari seorang pemuda adalah pada kemampuannya melakukan perubahan.  Perubahan menjadi indikator suatu keberhasilan terhadap sebuah gerakan pemuda. Apabila lingkungan suatu daerah maju dan berkembang bisa dipastikan kaum pemuda di wilayah tersebut berhasil mengubah lingkungannya. Namum sebaliknya, apabila lingkungan tersebut hancur, banyak tindak kriminal, dan terbelakang. Dapat dipastikan juga pemuda di wilayah itu pasif, tidak mau bekerja, dan tidak mau mengalami perubahan. Disinilah dibuntuhkannya sosialisasi baik secara langsung maupun tidak langsung agar setiap pemuda dapat mengenal diri mereka sendiri.
Melalui proses sosialisasi, seorang pemuda akan mengetahui cara berfikir dan kebiasaan hidupnya. Sehingga dia dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam diri mereka. Dengan proses sosialisasi pula, seorang pemuda menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di keluarganya, lingkungannya, dan di masyarakat luas. Dari keadaan tidak atau belum tersosialisasi, menjadi manusia yang beradap, berilmu, dan berwawasan luas. Pendirian dan kepribadiannya dapat terbentuk dengan sosialisasi.  Dalam hal ini sosialisasi dapat diartikan sebagai proses yang membantu individu belajar menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, bagaimana cara berfikir kelompok agar dapat berperan dan berfungsi dalam masyarakat, dan lain sebagainya
Dalam proses sosialisasi, lingkungan adalah faktor utama yang sangat mempengaruhi hasil dari proses sosialisasi tersebut. Apabila lingkungan tersebut baik maka pemuda yang berada di lingkungan tersebut bisa menjadi masyarakat yang baik pula dan dapat berguna nantinya. Dan sebaliknya, apabila lingkungan itu buruk, maka akan sulit pemuda di lingkungan tersebut menjadi baik. Jadi amat lah sulit mengubah suatu lingkungan yang kurang baik apabila tidak ada pemuda di daerah itu sendiri yang bergerak membawa perubahan

masalah individu, keluarga, masyrakat


Ada sebuah keluarga yang bisa dibilang di dalam keluarga nya itu kurang harmonis, Ayah yang sibuk dengan pekerjaannya dan ibu yang hanya sibuk dengan urusan nya sendiri , dan kedua anak nya, sebut saja bernama Rico dan Mira . mereka anak-anak yang kurang diperhatikan. Ditambah  orangtua mereka yang selalu saja bertengkar. Mungkin yang sering kita dengar dan temui  banyak dalam keluarga yang membuat pertengkaran terjadi dikarenakan masalah ekonomi. Namun ini berbeda, “Perselingkuhan”  ya... Ibu dari Rico dan Mira itu mungkin contoh Ibu yang tidak baik untuk dicontoh, dia banyak bermain mata dengan laki-laki lain , baik itu temannya maupun orang yang baru saja dia kenal. Tentu saja ini semua sangat tidak baik untuk keharmonisan keluarga nya. Anak-anak yang masih belia itu pun sangat terganggu dengan keadaan seperti ini, mereka berdua hanya bisa memendam perasaan yang sedih dan bisa di bilang batin nya sangat terpuruk,  dengan keadaan seperti ini mereka hanya bisa menghilangkan sedikit kesedihannya dengan bergaul dengan teman-teman sebaya nya. Dan ujung-ujungnya masalah “Broken Home” ini banyak disalahgunakan dengan pergaulan bebas yang tentu tidak baik untuk ditiru.namun mereka bisa berbuat apa dengan fikiran mereka yang belum terlalu dewasa untuk menyikapi masalah tersebut, mereka hanya memikirkan kesenangan untuk menghilangkan kejenuhan yang mereka alami di rumahnya, yang mereka sering lakukan adalah dengan pulang sangat larut malam,keadaan itu hampir terjadi setiap hari setelah mereka pulang sekolah bahkan mereka sering bolos untuk sekedar jalan-jalan dan menghabiskan hari mereka dengan kesenangan. Dan setiap malam hari Rico anak pertama dari keluarga itu sering melakukan track-trackan motor dengan teman-teman nya, yang sering  di lakukan di dekat lingkungan mereka tinggal.
kejadian ini membuat masyarakat lingkungan dekat rumah nya sangat terganggu , sekali dua kali tetangga-tetangga sering  sekali melerai kejadian itu,namun karena anak-anak yang susah untuk dilerai mereka pun lagi-lagi melakukan hal tersebut. Belum lagi anak perempuan dari keluarga itu sering sekali pulang larut malam dengan teman-temannya, tentu itu tidak baik dan tentu tetangga-tetangga pun sangat terganggu karena hal itu. Dengan sangat terpaksa tetangga-tetangga mereka itu mau tidak mau harus memberitahu dan memperingatkan kepada kedua orang tua mereka tersebut. Dan ini membuat keluarga ini jadi kurang baik di mata tetangga-tetangga lingkungan dekat rumah.
nah kejadian ini sangat tidak patut untuk ditiru, karena dalam permasalahan di dalam keluarga juga bisa bersangkutan dengan permaslahan di lingkungan tempat tinggal.jadi sebisa mungkin kita harus menjaga KEHARMONISAN yang tentu di mulai dari keluarga kita sendiri ! karena keharmonisan keluarga kita sangat penting. Dan kita sebagai anak harus sangat bisa menjaga nama baik keluarga kita sendiri

masalah masyarakat perkotaan dan pedesaan


seorang karyawan sebuah perusahaan yang terletak di salah satu tempat di Jakarta. Ia berasal dari desa. Sebagai seorang perantau, ia bisa dikatakan sudah agak mapan. Ia bisa menyewa sebuah rumah. Pun pula ia bisa menyisihkan sebagian pendapatannya untuk dikirimkan ke desa. Bahkan, pada waktu banyak karyawan di-PHK karena tuntutan ekonomi pasar, ia masih bisa bernafas lega. Ia tidak terkena PHK. Meskipun demikian, ia sendiri memahami dirinya belum sukses. Cita-citanya untuk hidup berkecukupan, dirasanya belum tercapai.

Slamet “dipaksa” oleh situasi untuk mencari penghidupan di kota. Orang tuanya, yang adalah petani, tidak bisa “membuktikan” pada dirinya, bahwa pertanian menjanjikan perbaikan hidup secara cepat dan nikmat. Memang, rumah orang tuanya yang dahulu berdinding anyaman bambu perlahan-lahan bisa menjadi berdinding tembok. Akan tetapi, itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Ia berpikir, bila ia merantau ke kota, pasti akan lain. Hal itu ia buktikan sesudah di kota beberapa waktu. Ia bisa mengirim ke orang tuanya di desa berbagai perlengkapan rumah tangga, yang baginya amat sulit diadakan jika ia masih menjadi petani di situ.

Itulah sepenggal nukilan fiktif orang desa yang merantau ke kota. Kisah senada, kemungkinan besar teralami oleh para perantau dari desa yang berada di Jakarta (dan kota lainnya), dengan perbedaan di sana-sini. Akan tetapi, upaya untuk memperbaiki hidup (ekonomi) kiranya menjadi benang merah dari kisah-kisah itu.

Slamet (dan para perantau lain) hanyalah korban dari sebuah kepincangan kebijakan pembangunan ekonomi rakyat. Selama ini, pembangunan yang menunjang perekonomian lebih digencarkan di perkotaan. Tak ayal lagi, orang-orang desa menoleh ke kecermelangan kota. Ia juga sebuah korban dari kebijakan yang lebih menitikberatkan pembangunan fisik dari pada mental. Ia juga korban dari pandangan salah bahwa (orang) kota lebih bergengsi dari pada (orang) desa. Ia juga hanyalah korban dari pandangan salah bahwa tani adalah pekerjaan yang kotor. Dan akhirnya, ia hanyalah seorang manusia yang berusaha memaknai hidupnya dengan cara yang menurutnya paling memungkinkan di tengah persaingan hidup yang keras.

Bagaimanapun Slamet adalah kisah sukses orang yang merantau ke kota. Akan tetapi di balik kesuksesannya, ada kisah-kisah menyedihkan. Semua yang berangkat ke Jakarta (kota) merindukan pekerjaan untuk menyambung hidup secara layak. Ternyata Jakarta tidak mampu menjawab kerinduan semua, hanya sebagian saja. Banyak orang (bisa para perantau dan bisa juga penduduk asli), yang entah karena dari SDM-nya kurang, atau karena tak ada relasi personal, atau karena penyebab lain, kalah dalam persaingan untuk memperebutkan pekerjaan terbatas yang ditawarkan Jakarta. Akhirnya dengan terpaksa sekali, mereka menjadi gelandangan, anak jalanan, perampok, pencopet, pemeras, pemalak dan sebagainya yang menjadi pertanda adanya masalah sosial yang serius.

Slamet (pasti) tidak menyadari bahwa kesuksesannya, secara tidak langsung turut memperparah masalah sosial perkotaan. Ia tidak sadar bahwa dirinya telah menghilangkan kesempatan satu penduduk asli untuk mendapatkan pekerjaan. Ia tidak menyadari bahwa tanah pertanian yang ditinggalkannya, bila diupayakan dengan kerja keras dan ulet, mampu memberikan penghidupan yang layak. Ia tidak menyadari bahwa tani adalah pekerjaan yang juga mulia seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya. Ia tidak menyadari bahwa derajad orang desa sama dengan orang kota. Ia tidak menyadari bahwa dirinya bisa sedikit mengurangi masalah sosial perkotaan yang kian memprihatinkan. Ia tidak mampu menyadari itu semua, karena faktor-faktor eksternal telah mengkondisikannya.

Dewasa ini, Slamet-Slamet yang lain ingin menyusul Slamet yang sudah berhasil. Bila proses urbanisasi ini berjalan terus, tidak ayal lagi, masalah sosial perkotaan dan sekaligus juga masalah sosial pedesaan yang telah demikian besar, akan semakin besar dan rumit. Kurbannya tiada lain adalah saudara-saudara kita sendiri, yakni mereka yang tak mampu bersaing. (Tentu, amat disadari bahwa urbanisasi hanyalah salah satu faktor dari banyak faktor yang menumbuhkan masalah sosial).

Pemerintah yang salah satu fungsinya menyejahterakan seluruh rakyat, hendaknya membuat kebijakan pembangunan secara seimbang, misalnya: antara yang fisik dengan yang mental, antara perkotaan dan pedesaan. Tentu saja, dalam situasi sosial sekarang yang sudah terlanjur dipenuhi dengan masalah-masalah sosial yang pelik, keseimbangan pembangunan tersebut bukanlah sebuah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Pun pula tetap disadari, ada banyak juga masalah lain yang harus ditangani. Akan tetapi, bila perimbangan pembangunan tidak dilakukan, bisa diramalkan situasi sosial yang akan kita (dan anak cucu kita) hadapi di masa mendatang.

Rasanya, semua saja dari kita, –yang bukan unsur pemerintah– tidak bisa cuci tangan dan melemparkan tanggung jawab pada pemerintah begitu saja dalam menyikapi masalah ini. Oleh panggilan manusiawi sebagai makhluk sosial dan kewajiban sebagai warga negara, kita pun hendaknya turut menyikapi masalah sosial secara dewasa dengan cara dan kondisi kita masing-masing. Perlu diingat, mereka yang ada dalam lingkaran masalah-masalah sosial adalah juga saudara-saudara kita.

permasalahan warga negara dan negara


Terdengar obrolan hangat di warung kopi. Ada yang dengan sinis menyamakan polisi India dengan polisi Indonesia sebagaimana yang ditonton di layar putih atau layar kaca. Setiap kali ada keributan, tawuran, perkelahian massal atau kerusuhan, dan bentrokan berdarah, selalu polisi lambat tiba tepat waktu di tempat kejadian untuk meredam keributan.
Pandangan demikian biasa ditonton dalam film-film India (Bollywood)). Namun, ada bedanya. Tak ada beban penonton jika menonton film India. Sang hero atau tokoh protagonis selalu menang di akhir kisah meski babak belur dan nyaris tewas pada awal atau pertengahan cerita. Rupanya, ada semacam moral budaya India (Hindu) yang mengharamkan kejahatan menang atas kebaikan.
Berbagai peristiwa kerusuhan di tanah air tak jarang lambat diredam atau dihentikan. Intel kepolisian mungkin tak memiliki jaringan mata dan telinga yang secara dini dapat mendeteksi dan menangkap adanya tanda-tanda awal kerusuhan atau adanya potensi signal kerusuhan sehingga sedapat mungkin dicegah.
Harapan bahwa warga masyarakat dengan jujur, ikhlas, dan berani menjadi perpanjangan mata dan telinga polisi sulit terpenuhi. Selain rasa takut karena bisa turut dilibatkan sebagai saksi, juga tak mau ambil pusing karena sudah kepusingan tujuh keliling karena masalah rutin yang dihadapi sehari-hari.
Anjuran pemerintah agar antara sesama warga dan kelompok harus saling melindungi serta bukan baku hantam atau saling menganiaya dan bahkan saling melikuidasi. Sesungguhnya, negara yang direpresentasikan oleh pemerintah harus melindungi warganya di dalam seluruh jenis kegiatan yang bertujuan mengembangkan dan menyempurnakan hidupnya.
Namun, terkesan kuat seakan-akan negara (pemerintah) tidak melindungi warganya, melainkan bersikap membiarkan terjadinya saling hantam antara sesama warga, terutama dalam kasus yang bermuatan SARA.
Sebagai contoh, peristiwa pengrusakan rumah, tempat hunian, dan tempat ibadah serta penganiayaan umat Ahmadiyah yang berulangkali terjadi adalah bukti paling nyata tentang gagalnya pemerintah melindungi rakyatnya.
Demikian pula peritiwa main hakim sendiri, baik oleh alat penegak hukum dan ketertiban, maupun oleh sesama warga dan kelompok di antara sesamanya karena ingin membela kepentingan masing-masing atau ingin menang sendiri tanpa mempertimbangkan rasa adil dan keadilan yang harus dijunjung tinggi.
Ungkapan bahwa setiap manusia sama di depan hukum, yang semakin kehilangan maknanya, harus diwujudkan oleh pemerintah sebagai pelindung sejati.