seorang karyawan sebuah perusahaan yang
terletak di salah satu tempat di Jakarta. Ia berasal dari desa. Sebagai seorang
perantau, ia bisa dikatakan sudah agak mapan. Ia bisa menyewa sebuah rumah. Pun
pula ia bisa menyisihkan sebagian pendapatannya untuk dikirimkan ke desa.
Bahkan, pada waktu banyak karyawan di-PHK karena tuntutan ekonomi pasar, ia
masih bisa bernafas lega. Ia tidak terkena PHK. Meskipun demikian, ia sendiri
memahami dirinya belum sukses. Cita-citanya untuk hidup berkecukupan, dirasanya
belum tercapai.
Slamet “dipaksa” oleh situasi untuk
mencari penghidupan di kota. Orang tuanya, yang adalah petani, tidak bisa
“membuktikan” pada dirinya, bahwa pertanian menjanjikan perbaikan hidup secara
cepat dan nikmat. Memang, rumah orang tuanya yang dahulu berdinding anyaman
bambu perlahan-lahan bisa menjadi berdinding tembok. Akan tetapi, itu
membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Ia berpikir, bila ia
merantau ke kota, pasti akan lain. Hal itu ia buktikan sesudah di kota beberapa
waktu. Ia bisa mengirim ke orang tuanya di desa berbagai perlengkapan rumah
tangga, yang baginya amat sulit diadakan jika ia masih menjadi petani di situ.
Itulah sepenggal nukilan fiktif orang
desa yang merantau ke kota. Kisah senada, kemungkinan besar teralami oleh para
perantau dari desa yang berada di Jakarta (dan kota lainnya), dengan perbedaan
di sana-sini. Akan tetapi, upaya untuk memperbaiki hidup (ekonomi) kiranya menjadi
benang merah dari kisah-kisah itu.
Slamet (dan para perantau lain)
hanyalah korban dari sebuah kepincangan kebijakan pembangunan ekonomi rakyat.
Selama ini, pembangunan yang menunjang perekonomian lebih digencarkan di
perkotaan. Tak ayal lagi, orang-orang desa menoleh ke kecermelangan kota. Ia
juga sebuah korban dari kebijakan yang lebih menitikberatkan pembangunan fisik
dari pada mental. Ia juga korban dari pandangan salah bahwa (orang) kota lebih
bergengsi dari pada (orang) desa. Ia juga hanyalah korban dari pandangan salah
bahwa tani adalah pekerjaan yang kotor. Dan akhirnya, ia hanyalah seorang
manusia yang berusaha memaknai hidupnya dengan cara yang menurutnya paling
memungkinkan di tengah persaingan hidup yang keras.
Bagaimanapun Slamet adalah kisah sukses
orang yang merantau ke kota. Akan tetapi di balik kesuksesannya, ada
kisah-kisah menyedihkan. Semua yang berangkat ke Jakarta (kota) merindukan
pekerjaan untuk menyambung hidup secara layak. Ternyata Jakarta tidak mampu
menjawab kerinduan semua, hanya sebagian saja. Banyak orang (bisa para perantau
dan bisa juga penduduk asli), yang entah karena dari SDM-nya kurang, atau
karena tak ada relasi personal, atau karena penyebab lain, kalah dalam
persaingan untuk memperebutkan pekerjaan terbatas yang ditawarkan Jakarta.
Akhirnya dengan terpaksa sekali, mereka menjadi gelandangan, anak jalanan,
perampok, pencopet, pemeras, pemalak dan sebagainya yang menjadi pertanda
adanya masalah sosial yang serius.
Slamet (pasti) tidak menyadari bahwa
kesuksesannya, secara tidak langsung turut memperparah masalah sosial
perkotaan. Ia tidak sadar bahwa dirinya telah menghilangkan kesempatan satu
penduduk asli untuk mendapatkan pekerjaan. Ia tidak menyadari bahwa tanah
pertanian yang ditinggalkannya, bila diupayakan dengan kerja keras dan ulet,
mampu memberikan penghidupan yang layak. Ia tidak menyadari bahwa tani adalah
pekerjaan yang juga mulia seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya. Ia tidak
menyadari bahwa derajad orang desa sama dengan orang kota. Ia tidak menyadari
bahwa dirinya bisa sedikit mengurangi masalah sosial perkotaan yang kian
memprihatinkan. Ia tidak mampu menyadari itu semua, karena faktor-faktor
eksternal telah mengkondisikannya.
Dewasa ini, Slamet-Slamet yang lain
ingin menyusul Slamet yang sudah berhasil. Bila proses urbanisasi ini berjalan
terus, tidak ayal lagi, masalah sosial perkotaan dan sekaligus juga masalah
sosial pedesaan yang telah demikian besar, akan semakin besar dan rumit.
Kurbannya tiada lain adalah saudara-saudara kita sendiri, yakni mereka yang tak
mampu bersaing. (Tentu, amat disadari bahwa urbanisasi hanyalah salah satu
faktor dari banyak faktor yang menumbuhkan masalah sosial).
Pemerintah yang salah satu fungsinya
menyejahterakan seluruh rakyat, hendaknya membuat kebijakan pembangunan secara
seimbang, misalnya: antara yang fisik dengan yang mental, antara perkotaan dan
pedesaan. Tentu saja, dalam situasi sosial sekarang yang sudah terlanjur
dipenuhi dengan masalah-masalah sosial yang pelik, keseimbangan pembangunan
tersebut bukanlah sebuah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Pun pula tetap
disadari, ada banyak juga masalah lain yang harus ditangani. Akan tetapi, bila
perimbangan pembangunan tidak dilakukan, bisa diramalkan situasi sosial yang
akan kita (dan anak cucu kita) hadapi di masa mendatang.
Rasanya, semua saja dari kita, –yang
bukan unsur pemerintah– tidak bisa cuci tangan dan melemparkan tanggung jawab
pada pemerintah begitu saja dalam menyikapi masalah ini. Oleh panggilan
manusiawi sebagai makhluk sosial dan kewajiban sebagai warga negara, kita pun
hendaknya turut menyikapi masalah sosial secara dewasa dengan cara dan kondisi
kita masing-masing. Perlu diingat, mereka yang ada dalam lingkaran
masalah-masalah sosial adalah juga saudara-saudara kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar