Salah satunya kebijakan penting yang pernah diambil oleh
pemerintah DKI Jakarta dalam mengurai kemacetan di ibukota adalah pemberlakuan
angkutan massal bus Trans Jakarta. Hadirnya angkutan massal yang satu ini
diharapkan menjadi salah satu solusi mengurangi pengguna kendaraan pribadi di
Jakarta. Namun sayangnya, hadirnya Trans Jakarta ini malah semakin memperparah
kemacetan di ibu kota. Jalur
Trans Jakarta yang mengambil sebagian dari badan jalan kian mempersempit jalan
yang ada, sementara itu pelebaran jalan tidak dilakukan.
Menghadapi kemacetan yang
seakan-akan tidak pernah terurai, akhirnya banyak pengendara yang tidak sabar
memilih untuk menerobos jalur Trans Jakarta. Hal ini tentunya bertentangan
dengan peraturan yang ada, namun apa yang hendak di kata, semuanya sedang
berlomba dengan kesibukan masing-masing yang entah kapan akan selesai.
Akhirnya tambah lagi tugas
baru bagi pemerintah. Pemerintah kembali harus menghalau para penerobos
tersebut dari jalur yang hanya diperuntukkan untuk bus Trans Jakarta. Berbagai
cara pun dilakukan, mulai dengan meninggikan separator hingga memasang portal
di jalur Trans Jakarta tersebut. Namun, pengedara yang “kreatif” tentu mampu
mengelabui semua tindakan-tindakan pencegahan yang dilakukan. Setelah itu, kemacetan
tetap belum terurai.
Polda Metro Jaya pun
akhirnya membuat sebuah rencana baru, sebuah kebijakan akan diberlakukan.
Pengendara yang menerobos jalur Trans Jakarta akan dikenakan denda, yaitu denda
sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) bagi pengendara kendaraan roda
dua dan denda sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) bagi pengendara
kendaraan roda empat.
Tentu saja, dalam Undang-Undang
Nomor Nomor 22 Taun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ketentuan
mengenai denda terhadap setiap pelanggaran lalu lintas bukan lah suatu hal yang
asing. Dalam Undang-undang ini, ketentuan denda menjadi pidana pokok yang dapat
diterapkan bagi pelaku pelanggaran lalu lintas. Lalu di mana hal baru yang
membuat kebijakan ini menjadi spesial?
Ketentuan mengenai denda
ini, jika mengacu pada ketentuan Pasal 287 ayat (2) Undang-Undang Lalu lintas
dan Angkutan Jalan, tidak ada pembedaan denda terhadap kendaran roda dua dan
kendaraan roda empat. Dalam Pasal tersebut, hanya mencantumkan denda maksimal
Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) bagi pengendara yang melanggar larangan
yang dinyatakan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas. Lalu ketentuan
mengenai denda sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) bagi pengendara
kendaraan roda empat menjadi tidak berdasar.
NEGERI YANG GEMAR MENGHUKUM
Pandangan penulis secara
umum, sebenarnya permasalah tertib berlalulintas, tidak lagi terletak pada
berat atau tidaknya peraturan tersebut, namun lebih kepada mental dan kesadaran
dari setiap pengguna jalan. Secara kasat mata, sanksi yang diatur dalam
Undang-undang Lalu Lintas, tentunya sudah sangat berat, namun kembali lagi,
belum ada kesadaran untuk mematuhi peraturan itu.
Masyarakat kita, mungkin
masih hidup bagaikan kerbau yang harus dipecut agar mau melangkah, sungguh
ironis. Di saat negara kita hendak melangkah menggapai masyarakat yang beradap,
namun sebagian besar dari kita masih hidup dengan mental purba yang susah untuk
diajak untuk maju.
Di lain sisi, di negeri ini terlalu banyak peraturan.
Masyarakat kenyang akan sejumlah peraturan ini dan itu, namun di balik itu,
masyarakat lapar akan keadilan dan kebenaran. Seakan-akan semua permasalah yang
ada di negeri ini dapat diselesaikan dengan sejumlah aturan. Negara dan
masyarakat begitu senang membuat peraturan yang sanksinya sangat berat dan
menghukum pelaku kejahatan dengan sangat berat. Negeri ini begitu gemar
menghukum. Namun apalah gunanya aturan dan sejumlah sanksi yang berat jika
masyarakat tidak rela untuk mematuhinya. Mengutip sebuah peribahasa Latin, “Corruptissima
republica plurimae leges” yang artinya, semakin korup sebuah republik
(negara), semakin banyak undang-undang. Mungkin saat ini, begitu lah Republik
Indonesia yang kita cintai ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar